Wednesday, November 20, 2013

Makna Gunung Prau #2: Kematian Mendekatkanku pada Kehidupan

Jam di tangan saya menunjukkan pukul 02.00 ketika kami tiba di basecamp gunung Prau. Udara dingin benar-benar menusuk tulang kami. Tidak terlihat sedikit pun aktivitas manusia saat itu, hanya beberapa jangkrik dan kodok yang masih semangat bernyanyi. Bagi kami, berbicara pun sudah tak mampu, apalagi bernyanyi.

Setelah memarkir motor kami bersiap melakukan pendakian. Tak satu pun dari kami yang pernah mendaki gunung itu sebelumnya, dan tak ada seorang pun yang bisa ditanya. Jadi dengan hanya mengandalkan catatan perjalanan yang kami temukan di internet dan sedikit kenekatan kami langkahkan kaki kami menuju gunung Prau. 

Kami harus memasuki kawasan rumah penduduk sebelum masuk ke dalam hutan. Disini lah ujian pertama kami. Jalan bercabang yang sangat banyak membuat kami hanya berputar-putar di perumahan tersebut. Hal ini diperparah dengan ketiadaan penduduk lokal yang bisa diminta keterangan. Tiga jam berlalu dan kami masih saja berada pada perumahan tempat kami memulai perjalanan. Pukul 05.00 azan subuh berkumandang. Satu-persatu warga bergerak keluar rumah menuju masjid terdekat. Hampir putus asa, kami mendekati salah seorang warga menanyakan kemana jalur yang tepat menuju gunung Prau."Lewat mriki mas, lurus terus nganti nemu perempatan, sampeyan nengen lha engko nemu jalure." Senyum sumringah merekah, kami sedikit berlari menuju jalur yang ditunjukkan Bapak tersebut.

"Come on, Yok!"
Matahari di ufuk timur sudah setengah lingkaran ketika kami memasuki kawasan hutan. Semangat yang sudah membara ini sekali lagi harus padam ketika kami menemukan diri kami kembali tersesat di punggung gunung Prau. Beruntung dua sahabat saya ini pintar sekali mencairkan suasana. Perjalanan yang pantas mendapat umpatan berubah menjadi perjalanan penuh canda tawa. Bagian ini lah yang menjadi favorit saya dalam pendakian gunung. Tubuh yang lelah dan hati yang frustasi seketika menghilang mendengar gurauan yang dilontarkan kawan seperjalanan. Saya tak mungkin untuk tak bersyukur telah melakukan perjalanan seperti ini.

Kami masih berjuang keras menemukan jalur yang tepat ke puncak. Setelah sedikit memaksa 'babat alas' akhirnya kami menemukan jalur tersebut. Yang terjadi selanjutnya adalah pendakian dengan hati gembira dan langkah yang ringan. Karena memang gunung Prau ini tidak memiliki trek menanjak yang curam. Sesampainya di puncak gunung matahari sedang gagahnya berada di atas kepala kami. Dengan cuaca cerah seperti ini kami dengan bahagianya melakukan ritual di puncak gunung: berfoto.

Berlagak Gagah

Berkontempelasi

Berkibarlah Sang Merah Putih, dari Puncak Gunung Prau

Perjalanan turun gunung berlalu begitu saja oleh kami. Kira-kira dua jam kami lewati dalam perjalanan turun ini. Setibanya di basecamp sang surya sedang bersiap menghilang, berganti peran dengan bulan menerangi alam semesta. Sementara itu kami bertiga juga berharap ada yang menggantikan tubuh kami yang kehilangan tenaga.

Tidak tidur semalam suntuk memang benar-benar menguras tenaga. Saya membayangkan perjalanan pulang akan sangat menyiksa mata saya, dan benar. Dari Dieng menuju kota Wonosobo mata saya berkali-kali terpejam sedetik-dua detik karena tak kuasa menahan kantuk. Beruntung tidak ada insiden apapun. Kedatangan kami di Wonosobo disambut seorang kawan kami, Om Min panggilannya. Dijamu berbagai hidangan lezat di rumahnya membuat kami enggan melanjutkan perjalanan pulang. Dengan sedikit terpaksa kami bangkit, bersiap di atas motor untuk pulang. 

Formasi kami pulang adalah sebagai berikut: motor saya dikendarai Upil dan saya memboncenginya serta Yoyok sendirian dengan motornya sendiri. Kami sepakat untuk bertukar formasi lagi nanti di tengah perjalanan. Saya memilih dibonceng duluan karena sungguh tak kuat menahan kantuk.

Sekitar satu setengah jam selanjutnya (sekitar pukul tujuh malam) terjadi sebuah peristiwa yang akan selalu saya ingat. Kami sudah keluar Wonosobo dan saat ini menuju Temanggung. Jalan yang sempit sedikit membuat kami tersendat sehingga sesekali kami harus terpaksa keluar jalur guna menyalip kendaraan di depan kami. Di depan kami sebuah Avanza silver sedang berjalan sangat pelan, saya lihat mobil tersebut sedang menunggu Pick-Up di depannya yang hendak belok kanan. Kemudian Upil berinisiatif menyisir sisi kiri jalan. Akibat sempitnya jalan maka kami keluar jalan beraspal, berada pada sisi jalan yang penuh bebatuan kecil. Motor sedikit oleng, tapi kami terus memaksa, menambah kecepatan sedikit demi sedikit. Sekarang kami sudah berada di depan Avanza, tetapi belum berada pada jalur beraspal. Avanza tersebut juga sepertinya sudah berhasil menyalip Pick-Up tadi. Upil kemudian mengarahkan motor ke kanan, berusaha menggapai jalanan beraspal. Tidak ada yang menyadari bahwa permukaan jalan aspal dengan sisi jalan terpaut cukup jauh. Ban motor kami berusaha naik ke jalan aspal namun gagal.

Motor kami kehilangan keseimbangan, jatuh ke kanan, ke arah Avanza melaju. Saya masih bisa merasakan badan saya terpelanting, dagu saya kemudian adalah bagian yang pertama bertemu aspal. Tidak ada yang bisa saya lihat, semua gelap. Kejadiannya begitu cepat. Setelah beberapa detik kesadaran mulai muncul. Saya merasakan tubuh saya sedang terbaring di jalan beraspal. Saya memberanikan diri membuka mata, dan betapa kagetnya saya karena saya berada di bawah kap mobil. Benda yang pertama saya lihat adalah plat mobil tersebut. Saya panik, saya dengan takut setengah mati mencoba menggerakkan kaki saya, berhasil. Kemudian tangan saya, berhasil lagi. Saya sedikit lega. Saya kemudian mulai memperhatikan sekeliling. Saya lihat motor saya sedang dibawa dua orang ke pinggir jalan, dan Upil berbaring di sebelah saya. Saya pikir dia pingsan, tapi kemudian ada sebuah tepukan darinya di kepala saya "Tangi ndes!" Saat itu saya tau ia baik-baik saja.

Selanjutnya kami membereskan semua kekacauan malam itu. Mulai dari motor yang sedikit rusak, badan yang lecet di sana-sini dan menata mental yang amburadul guna menyudahi perjalanan pulang. Kami akhirnya berganti formasi. Saya menyetir, Upil pindah ke motor Yoyok dan tentu saja Yoyok yang akan jadi supir.

Tiga jam selanjutnya kami membisu. Selain karena baru saja mengalami kecelakaan yang cukup mengagetkan udara saat itu juga sangat sangat dingin. Kami salah ambil rute, yaitu rute mengitari gunung Ungaran. Beruntung, kami sampai rumah dengan selamat dan memiliki banyak cerita sebagai bonusnya.

Begitu sudah di kasur dan bergegas tidur saya sejenak berpikir. Inilah pengalaman terdekat saya dengan kematian. Saya pernah hampir tenggelam di pantai Pangandaran atau jatuh pingsan karena kelelahan. Tapi inilah yang saya rasa mengantarkan saya paling dekat pada maut. Hanya berjarak sekian centimeter dari ban Avanza yang siap menggilas saya dengan sombongnya. Dan sekarang saya berada pada kasur yang saya cintai ini, dengan sebelumnya mandi dengan air hangat hasil usaha ayah saya serta menyantap mie rebus buatan ibu saya. Padahal beberapa jam lalu saya sedang terbaring di jalan beraspal, dengan udara yang dingin menusuk dan lelah yang memberatkan badan, dan Avanza yang berdiri gagah di atas saya.

Maka dengan pernah sedekat itu dengan kematian (atau kecelekaan fatal) membuat saya juga semakin dekat dengan kehidupan saya. Menjadi dekat dengan ayah dan ibu saya, dengan adik saya, dengan sahabat saya serta setiap orang yang menyapa saya. Pernah sedekat itu dengan kehilangan menjadikan saya menghargai semua yang saya punya dan lakukan. Oleh karena itu, saya mempersiapkan segala sesuatunya lebih baik sekarang, karena saya tidak tau kapan maut akan menjemput atau hanya datang mendekat saja.

2 comments:

  1. Your writing drives me slow in the beginning then got my heart skip a beat thereafter. You have such a good family that let you climb and face many experiences like this. I am amazed by you.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thanks for the comment Pur :). Heemm.. Who say my family give me the permittion? One thing you dont know, none of us ask for permittion, hehe. And also none of our family member know abt that accident. We keep it secret! :D

      Delete