Tuesday, December 17, 2013

TV

Saya merasa bahwa definisi bahagia berasal dari diri kita sendiri. Bahwa kita sendiri lah yang menentukan kondisi seperti apa yang akan membuat kita bahagia. Anak kecil akan bahagia ketika mendapat mainan baru, remaja saat mulai melakukan hal-hal dewasa pertama kalinya, atau orang tua yang sedang melihat anaknya berprestasi. Itu jika dilihat dari segi umur. Dari tingkat ekonomi pun kebahagiaan juga akan beragam. Uang seratus ribu akan bermakna beda bagi sopir angkot, teller bank, atau wakil presiden. Dan proses mendefinisikan kebahagiaan akan bermuara pada rasa syukur pada apa yang kita miliki.

Faktor rasa syukur ini lah yang akan menentukan apakah sesuatu sudah layak disebut 'membahagiakan' atau belum. Dan sayang sekali, kita punya musuh besar yang akan menurunkan kadar rasa syukur kita dan merubah definisi kita tentang status bahagia. Dia adalah TV. Saya hanya berfokus pada TV yang menayangkan siaran gratis, bukan TV kabel karena saya tidak berlangganan. Saya telah memperhatikan bahwa siaran-siaran ini tidak edukatif.

Bayangkan masyarakat yang tinggal di pedesaan. Setiap hari mereka berkutat dengan sawah/laut, peluh keringat dan hidup sederhana. Sedangkan televisi kita (selalu) menayangkan gerombolan anak muda Jakarta penuh gaya. Kesenjangan sosial yang terjadi antara layar kaca dan realitas mereka terlampau jauh. Saya sedih mendengar berita seorang anak ingin bunuh diri karena tidak dibelikan Ninja atau orang-orang yang meninggal karena menenggak bir oplosan. Bukankah kita cukup akrab dengan sepeda atau motor bebek yang tentu bukan untuk bergaya dan kebut-kebutan? Dan bukankah segelas teh atau kopi panas sudah berulang kali berhasil menghangatkan tubuh dan suasana? Dan saya mencurigai TV lah penyebabnya. Karena ia yang memberitahu bangganya memiliki kendaraan mewah dan kerennya minum sampai teler.

Pada satu sisi TV memang baik karena ia meningkatkan kadar ekspektasi kita akan sesuatu. TV mengabarkan bahwa kendaraan atau hunian mewah sangat nyaman, atau benda-benda mahal lain sangat layak untuk dirasakan. Tapi ia luput memberitahu caranya menggapai hal tersebut. Jadilah kita sangat mendambakan hidup seperti di TV tetapi apa daya realitas berkata lain.

Definisi bahagia kita akhirnya mengacu pada apa yang terlihat membahagiakan di TV sedangkan kita tak punya kemampuan memperolehnya. Dan kadar rasa syukur kita tidaklah cukup membahagiakan kita karena kita (selalu) ingin lebih dari apa yang kita punya.

Note:
Saya sudah lama sekali tak nonton TV kecuali nonton bola. Semoga tulisan saya tidak relevan lagi karena siaran TV sudah berubah, kini ia menyiarkan program-program edukatif yang memajukan masyarakat segala golongan. Semoga.