Sunday, June 28, 2015

Pentingnya Piknik

Same-sex marriage akhirnya legal di Amerika Serikat. Saya bukan gay, tapi turut senang mendengarnya. Kenapa? Karena menurut saya mereka (gay dan lesbian) tidak membahayakan dan tidak mencederai hak siapapun. Prinsip saya memang seperti itu, selama seseorang tidak mengganggu, membahayakan atau merampas hak orang lain, silakan saja berbuat sesukanya. Anda mau menjadi LGBT, ahmadiyah, rohingya, ateis ataupun penyembah galon aqua pun saya tidak akan melarang. Jadi kalau ada gay-lesbian yang ingin menikah ya silakan saja, saya yakin mereka sudah dewasa dan paham manfaat serta konsekuensi dari pilihan yang mereka ambil. Khusus untuk same-sex marriage ini sebenarnya banyak yang bisa saya jabarkan, sementara cukup segini dulu.

Saya sedikit ingin cerita. Jujur saja saya pun sebenarnya pernah terjangkit 'penyakit' yang lazim diderita banyak laki-laki: homophobia. Dulu saya merasa jijik pada cowok yang suka sesama cowok, saya berpikir apa enaknya lewat pantat? rendah sekali saya ini :)). Untungnya saya kuliah di Jogja, kota yang penuh keberagaman. Kota yang mengajarkan perdamaian meski terdapat banyak perbedaan. Untung saja saya suka pertunjukan-pertunjukan seni, hal ini perlahan-lahan merubah pandangan saya. Untung saja saya pernah ngobrol dengan transgender, yang dari dia saya mengalami mind-blown tentang LGBT. Untung saja saya tidak kurang piknik, semasa muda suka jalan-jalan dan naik gunung.

Menurut saya manusia by default adalah makhluk yang baik dan penuh cinta kasih. Tidak ada satupun bayi yang punya rasa benci, rasis, ekslusif sempit dan sifat negatif lainnya. Jika ketika dewasa ada yang berubah menjadi seperti itu dugaan saya adalah wawasan mereka tidak luas, berilmu pada satu sumber saja dan kurang piknik. Jadi jika kalian menjumpai teman yang seperti itu, ajak saja dia piknik, niscaya akan berubah jalan pikirannya :D

Salam damai.

Sunday, June 21, 2015

Saya Tidak Butuh Motivator

Ketika SMA saya pernah mengikuti training yang diadakan oleh ESQ. Training ini diadakan sebagai persiapan siswa SMA menghadapi Ujian Nasional. Di salah satu sesi peserta diberi sehelai kertas dan diminta untuk berandai-andai keadaan 10 tahun kedepan, peserta kemudian disuruh menulis surat kepada kedua orang tua yang isinya menggambarkan keadaan peserta saat itu. Kemudian ketika masa kuliah saya juga pernah mengikuti training sejenis, peserta diminta memejamkan mata kemudian secara perlahan-lahan diajak membayangkan cita-cita dan impian yang menjadi kenyataan. Baik itu perkerjaan, keluarga maupun lingkungan sekitar. Kedua training tersebut bertujuan mengorek isi hati seseorang, harapan terdalamnya atau penyesalan terberatnya. Di dua kesempatan tersebut saya menangis. Dan saya bertekad menjadi orang yang berbeda, menjadi pribadi yang lebih baik, belajar giat dan berbakti pada orang tua. Namun, sepertinya tidak sampai dua hari efek tersebut sudah pudar atau bahkan hilang. Saya kembali pada diri saya yang lama. 

Saat mengenyam pendidikan sarjana, tepatnya di awal semester 5, IPK saya ketika itu masih dibawah 3, saya memiliki keinginan untuk mendapatkan IP diatas 3,5. Target ini terkesan lucu karena di kampus saya mahasiswa yang biasanya mendapat nilai ini berasal dari golongan yang tipikal: rajin, (terlihat) pintar, aktif di kelas, dan tidak neko-neko. Dan saya bukan termasuk golongan tersebut. Singkat cerita, semester 5 ini bisa dibilang semester maut karena ada praktikum yang diadakan hampir setiap hari dari pagi sampai menjelang malam selama satu semester penuh. Alhasil, mahasiswa di kampus saya keteteran menjalani semester ini. Kuliah terbengkalai, praktikum terabaikan. Tetapi saya, yang memang sudah menargetkan IP 3,5, dengan semangat tinggi menghadapi semester ini. Segala cara saya lakukan mulai dari duduk di depan kelas, aktif di tugas kelompok sampai curi start belajar untuk ujian. Dan tibalah saat yang ditunggu-tunggu: pengumuman hasil ujian. Satu persatu teman saya mulai menggerutu sebab IP-nya sangat jeblok kali ini; nilai D dan E menjadi lazim ditemukan di KHS (Kartu Hasil Studi). Saya kemudian memberanikan diri membuka portal akademik saya dan tertera jelas angka IP saya: 3,04. Beberapa teman uniknya mengucapkan selamat karena mereka beranggapan bahwa IP > 3 milik saya adalah suatu pencapaian yang baik. Tentu saja saya tidak berpikir demikian. Saya kecewa karena target saya tidak tercapai.

Memasuki semester 6 semangat saya semakin menggebu untuk memburu IP 3,5. Kali ini saya tidak boleh gagal karena kesempatan saya tidak banyak lagi. Setelah berjuang selama 6 bulan akhirnya tiba waktunya untuk melihat hasil ujian. Betapa bahagianya saya melihat angka 3,52 tercetak di lembar hasil studi saya. Seketika saya merasa haru karena berhasil melampui target yang saya canangkan.

Dari serangkaian peristiwa-peristiwa yang terjadi di atas saya mengambil kesimpulan bahwa dorongan terkuat yang mampu membawa seseorang mencapai kesuksesan haruslah berasal dari diri sendiri. Perasaan emosional ketika mengikuti training ESQ, bahkan sampain menangis, ternyata hanya bertahan satu-dua hari saja. Namun tekad kuat yang saya tanamkan demi meraih nilai maksimal berhasil membawa saya pada kesuksesan.

Pemahaman ini saya pegang terus sampai saat ini, sehingga ketika Ibu saya menyuruh saya menonton acara Mario Teguh saya hanya tersenyum sinis, saya tidak butuh Mario Teguh untuk memotivasi saya, tidak pula quote atau kata-kata mutiara yang bertebaran di media sosial. Semangat meraih sesuatu bisa saya bangkitkan sendiri melalui kesadaran penuh. Saya tidak butuh motivator.