Monday, October 21, 2013

Mengapa (Tidak) Naik Gunung?

Sebelum memulai tulisan ini saya ingin menegaskan bahwa saya bukanlah orang yang bisa dianggap ahli menaklukkan gunung atau secara akrab dipanggil 'sesepuh'. Saya yakin bahwa ada banyak orang yang telah mendaki lebih tinggi, berjalan lebih jauh, atau tersesat lebih lama daripada saya. Akan tetapi saya berani menyatakan bahwa kekayaan rasa yang saya peroleh tidak kalah dari mereka.

Mungkin ada yang masih bertanya tentang kisah saya dalam mendaki gunung dan mengapa saya dari orang yang jarang sekali bersentuhan dengan alam bisa mendaki berbagai macam gunung dalam kurun waktu setahun terakhir.

Mengapa Naik Gunung

Saya memulai pendakian pertama saya di gunung Merapi pada medio April 2012. Bersama beberapa teman saya, yang kebetulan juga memulai pendakian pertama mereka, kami menghabiskan kira-kira dua hari satu malam di gunung, tanpa tidur. Ya, tanpa tidur. Bagi saya yang baru pertama kali ke gunung pengalaman tersebut membekas sangat dalam. Kaki-kaki saya adalah kaki khas perkotaan, kaki yang tidak biasa diajak berjalan jauh, apalagi dalam medan terjal dan minim fasilitas. Mental saya bukanlah mental yang ditempa oleh kerasnya alam, mendengar dosen bersiap mengadakan kuis dadakan saja saya takut. Langkah saya lambat, batin saya mengeluh. Pada perjalanan turun saya hampir tidak bisa merasakan badan saya, hanya seperti tersisa tulang-belulang saja. Singkat cerita, saya hanya bisa merasa dingin dan lelah yang luar biasa, kantuk menumpuk di mata serta lapar yang menyiksa. Frustrasi dan putus asa justru terus menemani saya yang berharap ingin segera berada di rumah.

Keesokan harinya, tentu saja setelah balas dendam dengan tidur sepuas-puasnya, saya bergegas keluar kamar untuk menyantap makan siang. Setibanya di rumah makan entah bagaimana mulanya mata saya terus berbinar-binar melihat aneka lauk-pauk disusun berjejer di meja makan. Saya heran bagaimana saya bisa terharu melihat tumpukan tempe di piring, bersebelahan dengan ayam, telur, ikan dan teman-temannya. Saya makan sangat lahap.

Selesai makan saya memacu motor saya pulang. Secara kebetulan mengarah ke utara, ke arah Merapi. Cuaca yang cerah saat itu membuat puncak Garuda (puncak gunung Merapi) terlihat cukup jelas. "I've been there", dengan sedikit bangga hati saya berkata. Saya hanya tersenyum kecil menanggapinya.

Sejak saat itu saya berulang kali mendaki gunung.

Saya tidak menemukan kenikmatan apapun di gunung. Perut lapar, tubuh lelah, mata ngantuk, badan menggigil. Pemandangan indah hanya sedikit bonus dari Tuhan. Dan itu pun hanya berlangsung beberapa menit saja, karena saya harus segera melanjutkan perjalanan. Ayah saya pernah bertanya sesaat saya tiba dari mendaki gunung, "Kak, emang naik gunung tu paling enak pas ngapain sih?" "Pas udah sampe rumah Pah" Karena bagian terbaik sebuah perjalanan adalah ketika kau sudah pulang.

Karena berkat kelaparan di gunung lah makanan yang saya santap di rumah terasa puluhan kali lebih lezat, suhu dingin di gunung menjadikan selimut serta kasur saya bagaikan alas tidur terbaik di dunia, perjalanan kaki yang melelahkan memaksa saya untuk menghargai jasa-jasa motor saya. Dan segala hal yang sering saya keluhkan justru diam-diam membuat saya mengucapkan syukur.

Karena ketika saya sudah pulang (dari mendaki gunung), saya hanya bisa bersyukur.
Photo by Maharsi Wahyu

Dan berdasarkan perasaan itulah justru saat ini saya ingin bertanya: "Mengapa tidak naik gunung?"